Kamis, 28 April 2016

ilmu

Ilmu

Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala alihi wa shohbihi wa man tabi’ahum bi ihsaanin ilaa yaumid diin.
Mu’adz bin Jabal –radhiyallahu ‘anhu- mengatakan,
العِلْمُ إِمَامُ العَمَلِ وَالعَمَلُ تَابِعُهُ
“Ilmu adalah pemimpin amal dan amalan itu berada di belakang setelah adanya ilmu.” (Al Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Mungkar, hal. 15)

Bukti bahwa ilmu lebih didahulukan daripada amalan
Ulama hadits terkemuka, yakni Al Bukhari berkata, “Al ‘Ilmu Qoblal Qouli Wal ‘Amali (Ilmu Sebelum Berkata dan Berbuat)” Perkataan ini merupakan kesimpulan yang beliau ambil dari firman Allah ta’ala,
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ
“Maka ilmuilah (ketahuilah)! Bahwasanya tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu.” (QS. Muhammad [47]: 19)
Dalam ayat ini, Allah memulai dengan ‘ilmuilah’ lalu mengatakan ‘mohonlah ampun’. Ilmuilah yang dimaksudkan adalah perintah untuk berilmu terlebih dahulu, sedangkan ‘mohonlah ampun’ adalah amalan. Ini pertanda bahwa ilmu hendaklah lebih dahulu sebelum amal perbuatan.
Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berdalil dengan ayat ini untuk menunjukkan keutamaan ilmu. Hal ini sebagaimana dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dalam Al Hilyah ketika menjelaskan biografi Sufyan dari jalur Ar Robi’ bin Nafi’ darinya, bahwa Sufyan membaca ayat ini, lalu mengatakan, “Tidakkah engkau mendengar bahwa Allah memulai ayat ini dengan mengatakan ‘ilmuilah’, kemudian Allah memerintahkan untuk beramal?” (Fathul Bari, Ibnu Hajar, 1/108)
Al Muhallab rahimahullah mengatakan, “Amalan yang bermanfaat adalah amalan yang terlebih dahulu didahului dengan ilmu. Amalan yang di dalamnya tidak terdapat niat, ingin mengharap-harap ganjaran, dan merasa telah berbuat ikhlas, maka ini bukanlah amalan (karena tidak didahului dengan ilmu, pen). Sesungguhnya yang dilakukan hanyalah seperti amalannya orang gila yang pena diangkat dari dirinya.” (Syarh Al Bukhari libni Baththol, 1/144)
Ibnul Munir rahimahullah berkata, “Yang dimaksudkan oleh Al Bukhari bahwa ilmu adalah syarat benarnya suatu perkataan dan perbuatan. Suatu perkataan dan perbuatan itu tidak teranggap kecuali dengan ilmu terlebih dahulu. Oleh sebab itulah, ilmu didahulukan dari ucapan dan perbuatan, karena ilmu itu pelurus niat. Niat nantinya yang akan memperbaiki amalan.” (Fathul Bari, 1/108)
Keutamaan ilmu syar’i yang luar biasa
Setelah kita mengetahui hal di atas, hendaklah setiap orang lebih memusatkan perhatiannya untuk berilmu terlebih dahulu daripada beramal. Semoga dengan mengetahui faedah atau keutamaan ilmu syar’i berikut akan membuat kita lebih termotivasi dalam hal ini.
Pertama, Allah akan meninggikan derajat orang yang berilmu di akhirat dan di dunia
Di akhirat, Allah akan meninggikan derajat orang yang berilmu beberapa derajat berbanding lurus dengan amal dan dakwah yang mereka lakukan. Sedangkan di dunia, Allah meninggikan orang yang berilmu dari hamba-hamba yang lain sesuai dengan ilmu dan amalan yang dia lakukan.
Allah Ta’ala berfirman,
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS Al Mujadalah: 11)
Kedua, seorang yang berilmu adalah cahaya yang banyak dimanfaatkan manusia untuk urusan agama dan dunia meraka.
Dalilnya, satu hadits yang sangat terkenal bagi kita, kisah seorang laki-laki dari Bani Israil yang membunuh 99 nyawa. Kemudian dia ingin bertaubat dan dia bertanya siapakah di antara penduduk bumi yang paling berilmu, maka ditunjukkan kepadanya seorang ahli ibadah. Kemudian dia bertanya kepada si ahli ibadah, apakah ada taubat untuknya. Ahli ibadah menganggap bahwa dosanya sudah sangat besar sehingga dia mengatakan bahwa tidak ada pintu taubat bagi si pembunuh 99 nyawa. Maka dibunuhlah ahli ibadah sehigga genap 100 orang yang telah dibunuh oleh laki-laki dari Bani Israil tersebut.
Akhirnya dia masih ingin bertaubat lagi, kemudian dia bertanya siapakah orang yang paling berilmu, lalu ditunjukkan kepada seorang ulama. Dia bertanya kepada ulama tersebut, “Apakah masih ada pintu taubat untukku.” Maka ulama tersebut mengatakan bahwa masih ada pintu taubat untuknya dan tidak ada satupun yang menghalangi dirinya untuk bertaubat. Kemudian ulama tersebut menunjukkan kepadanya agar berpindah ke sebuah negeri yang penduduknya merupakan orang shalih, karena kampungnya merupakan kampung yang dia tinggal sekarang adalah kampung yang penuh kerusakan. Oleh karena itu, dia pun keluar meninggalkan kampung halamannya. Di tengah jalan sebelum sampai ke negeri yang dituju, dia sudah dijemput kematian. (HR. Bukhari dan Muslim). Kisah ini merupakan kisah yang sangat masyhur. Lihatlah perbedaan ahli ibadah dan ahli ilmu.
Ketiga, ilmu adalah warisan para Nabi
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلاَ دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambilnya, maka dia telah memperoleh keberuntungan yang banyak.” (HR. Abu Dawud no. 3641 dan Tirmidzi no. 2682. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud dan Shohih wa Dho’if Sunan Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini shohih)
Keempat, orang yang berilmu yang akan mendapatkan seluruh kebaikan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِى الدِّينِ
“Barangsiapa yang Allah kehendaki mendapatkan seluruh kebaikan, maka Allah akan memahamkan dia tentang agama.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Setiap orang yang Allah menghendaki kebaikan padanya pasti akan diberi kepahaman dalam masalah agama. Sedangkan orang yang tidak diberikan kepahaman dalam agama, tentu Allah tidak menginginkan kebaikan dan bagusnya agama pada dirinya.” (Majmu’ Al Fatawa, 28/80)
Ilmu yang wajib dipelajari lebih dahulu
Ilmu yang wajib dipelajari bagi manusia adalah ilmu yang menuntut untuk diamalkan saat itu, adapun ketika amalan tersebut belum tertuntut untuk diamalkan maka belum wajib untuk dipelajari. Jadi ilmu mengenai tauhid, mengenai 2 kalimat syahadat, mengenai keimanan adalah ilmu yang wajib dipelajari ketika seseorang menjadi muslim, karena ilmu ini adalah dasar yang harus diketahui.
Kemudian ilmu mengenai shalat, hal-hal yang berkaitan dengan shalat, seperti bersuci dan lainnya, merupakan ilmu berikutnya yang harus dipelajari. Kemudian ilmu tentang hal-hal yang halal dan haram, ilmu tentang mualamalah dan seterusnya.
Contohnya seseorang yang saat ini belum mampu berhaji, maka ilmu tentang haji belum wajib untuk ia pelajari saat ini. Akan tetapi ketika ia telah mampu berhaji, ia wajib mengetahui ilmu tentang haji dan segala sesuatu yang berkaitan dengan haji. Adapun ilmu tentang tauhid, tentang keimanan, adalah hal pertama yang harus dipelajari karena setiap amalan yang ia lakukan tentunya berkaitan dengan niat. Kalau niatnya dalam melakukan ibadah karena Allah maka itulah amalan yang benar. Adapun kalau niatnya karena selain Allah maka itu adalah amalan syirik. Ini semua jika dilatarbelakangi dengan aqidah dan tauhid yang benar.
Penutup
Marilah kita awali setiap keyakinan dan amalan dengan ilmu agar luruslah niat kita dan tidak terjerumus dalam ibadah yang tidak ada tuntunan (alias bid’ah). Ingatlah bahwa suatu amalan yang dibangun tanpa dasar ilmu malah akan mendatangkan kerusakan dan bukan kebaikan.
‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz mengatakan,
من عبد الله بغير علم كان ما يفسد أكثر مما يصلح
“Barangsiapa yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu, maka dia akan membuat banyak kerusakan daripada mendatangkan kebaikan.” (Al Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Mungkar, hal. 15)
Di samping itu pula, setiap ilmu hendaklah diamalkan agar tidak serupa dengan orang Yahudi. Sufyan bin ‘Uyainah –rahimahullah- mengatakan,
مَنْ فَسَدَ مِنْ عُلَمَائِنَا كَانَ فِيهِ شَبَهٌ مِنْ الْيَهُودِ وَمَنْ فَسَدَ مِنْ عِبَادِنَا كَانَ فِيهِ شَبَهٌ مِنْ النَّصَارَى
“Orang berilmu yang rusak (karena tidak mengamalkan apa yang dia ilmui) memiliki keserupaan dengan orang Yahudi. Sedangkan ahli ibadah yang rusak (karena beribadah tanpa dasar ilmu) memiliki keserupaan dengan orang Nashrani.” (Majmu’ Al Fatawa, 16/567)
Semoga Allah senantiasa memberi kita bertaufik agar setiap amalan kita menjadi benar karena telah diawali dengan ilmu terdahulu. Semoga Allah memberikan kita ilmu yang bermanfaat, amal yang sholeh yang diterima, dan rizki yang thoyib.
Alhamdulilllahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Al Faqir Ilallah
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id

Senin, 25 April 2016

Toleransi Islam

keep-calm-and-be-tolerant-3Kekaguman para sahabat dan murid-muridnya tak menggetarkan pribadi Hasan al-Bashri untuk tetap hidup penuh kesederhanaan. Di rumah susun yang tidak terlalu besar ia tinggal bersama istri tercinta. Di bagian atas adalah tempat tinggal seorang Nasrani. Kehidupan berumah tangga dan bertetangga mengalir tenang dan harmonis meski diliputi kekurangan menurut ukuran duniawi.
Di dalam kamar Hasan al-Bashri selalu terlihat ember kecil penampung tetesan air dari atap kamarnya. Istrinya memang sengaja memasangnya atas permintaan Hasan al-Bashri agar tetesan tak meluber. Hasan al-Bashri rutin mengganti ember itu tiap kali penuh dan sesekali mengelap sisa percikan yang sempat membasahi ubin.
Hasan al-Bashri tak pernah berniat memperbaiki atap itu. “Kita tak boleh mengusik tetangga,” dalihnya.
Jika dirunut, atap kamar Hasan al-Bashri tak lain merupakan ubin kamar mandi seorang Nasrani, tetangganya. Karena ada kerusakan, air kencing dan kotoran merembes ke dalam kamar Sang Imam  tanpa mengikuti saluran yang tersedia.
Tetangga Nasrani itu tak bereaksi apa-apa tentang kejadian ini karena Hasan al-Bashri sendiri belum pernah mengabarinya. Hingga suatu ketika si tetangga menjenguk Hasan al-Bashri yang tengah sakit dan menyaksikan sendiri cairan najis kamar mandinya menimpa ruangan Hasan Al-Bashri.
“Imam, sejak kapan engkau bersabar dengan semua ini,” tetangga Nasrani tampak menyesal.
Hasan al-Bashri hanya terdiam memandang, sambil melempar senyum pendek.
Merasa tak ada jawaban tetangga Nasrani pun setengah mendesak. “Tolong katakan dengan jujur, wahai Imam. Ini demi melegakan hati kami.”
Dengan suara berat Hasan al-Bashri pun menimpali, “Dua puluh tahun yang lalu.”
“Lantas mengapa engkau tidak memberitahuku?”
“Memuliakan tetangga adalah hal yang wajib. Nabi kami mengajaran, ‘Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka muliakanlah tetangga’. Anda adalah tetangga saya,” tukasnya lirih.
Tetangga Nasrani itu seketika mengucapkan dua kalimat syahadat. (Mahbib Khoiron)
Sumber: www.nu.or.id
arabiaNama-nama Arabia. Nama pertama Arabia adalah “Negeri Timur” dan kedua “Negeri Selatan”. Kedua nama itu dipakai oleh Nabi Ibrahim. Di Arabia utara sejak waktu dahulu telah berdiam suku-suku berikut ini: Edom, Moab, Ammon, Amor, Midian, dan Amalek. Meskipun orang-orang Yahudi mengetahui sesuatu tentang negeri tetangganya, yaitu Arabi utara, mereka tidak tahu nama yang pasti dari tetangganya itu. Karena itu mereka hanya menyebut per daerah sesuai dengan nama suku yang menghuninya. Misalnya “Negeri Edom”, “Negeri Moab”, “Negeri Amalek”, dan seterusnya.
Pada zaman Musa, ketika bangsa Israel menyeberangi Laut Merah dari Mesir ke suatu tempat tertentu yang jauh di Arabia utara, mereka mendapatkan seluruh tempat itu berupa padang pasir, dan mereka menyebutnya Horeb (Arabia). Sementara bagian lain dari Arabia tetap disebut menurut nama penghuninya seperti sebelumnya.
Pada zaman Sulaiman orang-orang Yahudi mencapai puncak kemegahannya. Menurut Bibel, “Sulaiman membangun angkatan laut dan kapal-kapalnya di Eziongeber, yang terletak di sebelah Eloth, di pantai Laut Merah, di Negeri Edom… dan mereka datang di Ophir, mengambil emas dari sama empat ratus dua puluh takar dan mempersembahkannya kepada Sulaiman. Orang-orang Yahudi menaklukkan seluruh bagian utara serta beberapa bagian selatan (antara lain Saba) Arabia, karena itu mereka lalu mengetahui batas-batas alami seluruh negeri Arab. Mereka pun kemudian menyebut negeri itu Arabia.
Pembagian Arabia. Orang-orang Yahudi tidak memiliki pengetahuan geografi Arabia. (Selama beratus tahun mereka hanya tahu tentang Arabia utara yang terdiri dari Hijaz, Sinai, Syria Arab, Irak Arab, Bahrain, dan pantai-pantai Teluk Persia). Mereka membagi Arabia utara menjadi dua bagian: timur dan barat. Yang pertama meliputi kota-kota yang terletak di sebelah timur Canaan, pantai-pantai Teluk Persia, Bahrain, dan Irak Arab. Sedangkan yang kedua meliputi Sinai, Hijaz, padang pasir Syria Arab, dan sebagian Nejd yang terletak di sebelah selatan Canaan. Sejumlah suku tinggal di bagian timur dan selatan Arabia utara ini, dan daerahnya dinamakan menurut nama suku-suku itu.
Kota-kota Arabia. Dari semua kota di Arabia, “Mesha” dan “Sepher” yang terletak di ujung perbatasan negeri kaum Qahtan adalah yang mula-mula disebut dalam kitab Perjanjian Lama. “Sepher” diduga nama lama dari Zafar, sebuah kota di Yaman. Tetapi tidak ada kota di Arabi yang bernama Mesha. Pendeta Bevan berpendapat bahwa Mesha adalah “Muza”. Sebuah kota yang terletak di pantai Arabia di dekat mulut Laut Merah. Mungkin juga yang dimaksud dengan Mesha adalah sebuah kota dengan nama “Moosa”, yang tercantum dalam peta ptolemy, dan yang terletak di pantai Yaman. Kota “Mesha” itu sendiri juga bisa berarti “Mecca”, karena salah seorang anak Ismail disebut dengan nama Masa dalam Perjanjian Lama. dan sangat mungkin bahwa kota itu didirikan oleh atau dinamai menurut nama anak Ismail tersebut. G. Sale, seorang penerjemah Quran Inggris, menyetujui pendapat ini.
Kitab Perjanjian Lama menyebut beberapa kota yang terletak di negeri Edom, tetapi tempatnya tidak dijelaskan. Namun karena kota-kota itu merupakan orang Arab disebut “Busra” dan “Teman” dalam Bibel, mungkin identik dengan “Tima’i” sebuah kota terkenal dekat Busra. Letak kota-kota kuno lain di zaman kerajaan Edom, yakni Dinhabad Avith, Rehoboth, dan Pan (Genesis xxxvi, 32, 35, 37, 39), tidak dapat dipastikan.
Kitab Perjanjian Lama menyebut sebuah tempat dengan nama “Hazor”, dalam hubungan dengan Kaedar putra Ismail. Tetapi sejauh kita tahu tidak ada kota di Arabia dengan nama itu. “Hazor” kemungkinan besar bukan nama sebuah kota, melainkan hanya sebutan untuk sebuah tempat tinggal tetap. (kata “Hazor” secara harfiah berarti penghidupan tetap, kebalikan dari “Badiyah” yang berarti tempat tinggal sementara). Kota terkenal lainnya oleh kitab Perjanjian Lama disebut “Shiloh”, yang terletak di negeri Edom. Kata Shiloh” berarti batu, sama dengan kata Arab Al-Hajar, dan bahasa Yunani, Petra. Sampai pada zaman Yunani Shiloh adalah sebuah kota besar (puing-puingnya masih terlihat dekat Syria, di bagian utara Arabia. Kemudian kota pelabuhan “Eloth”, dekat teluk ‘Aqabah, yang termasuk kerajaan Edom, dan kemudian ditaklukkan oleh pengikut-pengikut Daud dan Sulaiman, dan dijadikan pusat Angkatan Laut bangsa Israel. Kapal-kapal Sulaiman sering melintas dari Eloth ke pelabuhan lain bernama Ophir yang terletak di Arabia selatan. Pelabuhan yang terakhir ini, sebuah pusat perdagangan, berulang-ulang disebut dalam Perjanjian Lama. kota Aden kemudian juga dikenal sebagai pusat perdagangan dan perniagaan.
Dari kota-kota di Yaman, Saba sering disebut dalam Injil. Ratu Shaeba menyerahkan diri ke hadapan pengadilan Sulaiman. Bersama-sama Saba, kota-kota dagang di Yaman lainnya juga disebut-sebut. Misalnya, “Roamah”, Uzal (yang terletak di tempat yang sekarang dikenal dengan Sinai). “Havilah” (yang merupakan bagian dari Hijaz di Arabia utara dan yang dihuni oleh keturunan Ismail), dan “Gurbaal” (yang letaknya tidak dapat diketahui). Terakhir, adalah kota yang disebut-sebut sebagai Palestina (mungkin terletak di Arabia utara).
Orang-orang Yahudi hanya mengenal dengan baik suku-suku Arab yang mempunyai hubungan politik atau perdagangan dengan mereka. Suku-suku Midian, Edom, Amalek, dan Moab adalah tetangga-tetangga, yang mereka anggap sederajat. Tentang suku-suku asli Arabi (suku Qahtan dan Ismail), lalu orang-orang Saba, dan Roamah yang termasuk suku yang pertama, telah disebut dalam kitab Perjanjian Lama. Suku Ismail disebutkan dalam Injil sebagai orang-orang yang berdagang di Arabia dan Mesir, dan yang kadang-kadang bertempur melawan orang-orang Yahudi dibantu oleh suku Midian. Nama lain utnuk suku Ismail adalah suku “Hajar”. Dan mereka disebut dalam Perjanjian Lama dengan nama itu juga. Dari suku Ismail ada dua marga, yaitu “rumput Kedar” dan “domba-domba Nebaioth”, yang juga telah disebut dalam Injil. Suku Arab lainnya disebut sebagai “Ma’un” yang oleh orang Arab disebut “Ma’in.” (hd/liputanislam.com)
*sumber : disadur dari An-Nadvi, Sejarah Geografi Alquran