Senin, 06 Juli 2020



“The Kite Runner” Novel Terlaris Berlatar Negara Afghanistan
Penulis Khaled Hosseini
Secara keseluruhan, ada sebuah kultur Islami yang kental pada novel “The Kite Runner”, namun kultur-kultur tersebut tak ayal menyelipkan moral dan pesan berharga yang tidak hanya ditujukan kepada pemeluk agama tersebut. Lewat keseharian Amir dan kaum Afghani lainnya di San Franciso, Khaled Hosseini berbicara tentang bagaimana cara kaumnya bertahan di tengah perbedaan kultur yang terjadi, antara sebelum dan pasca terjadinya insiden 11/9.
Sebagai debut Khaled Hosseini, “The Kite Runner” merupakan karya perdana yang luar biasa. Bukan semata-mata dari konflik novelnya yang berkenaan dengan isu politikal dunia, melainkan pengemasan ceritanya yang juga menarik. Cerita memoar perjalanan Amir tidak dieksekusi secara monoton, melainkan dieksplorasi melalui berbagai sisi. Semasa ia kecil, Amir menjelaskan sisi yang indah tentang Kabul dengan didominasi narasi spasial. Mulai dari ceruk terkecil di rumahnya, sampai panjang-lebar meja, dan besar ukuran ruangan rumah, Khaled Hosseini menjabarkannya secara lengkap; adat, permainan, hingga tradisi-tradisi lainnya di tanah Afghani pun ia perkenalkan kepada pembaca. Namun, di bagian inilah, cerita menjadi terasa mengulur, dan alih-alih, diselingi dengan dialog, Amir sebagai seseorang yang senang menghabiskan waktu bersama buku, lebih ingin bermonolog tentang kampung halamannya ketimbang berdialog panjang lebar dengan Hassan.
“The Kite Runner” bisa dibilang buku yang sendu, Khaled Hosseini menggunakan kata-katanya untuk menghanyutkan pembaca bersama sebuah diorama kehidupan Amir yang selalu dipenuhi penyesalan. Dengan terpolanya pemikiran tersebut, pembaca pun tak pernah berekspektasi tentang sebuah klimaks yang akan menghadang.
Khaled Hosseini sesungguhnya tak perlu terlalu sulit merangkai emosi untuk sebuah klimaks yang epik. Penuturan kisahnya bahkan tanpa bumbu metafora, namun sudah cukup menceritakan penyiksaan yang dibawa kaum Taliban ke tanah Afghani.
Menjelajahi perjalanan hidup Amir, “The Kite Runner” dibagi menjadi tiga bagian utama: a) bagian pertama, yang bercerita tentang masa kecil Amir dan Hassan di Kabul, b)  bagian kedua, yang bercerita tentang kehidupan Amir dan Baba di San Francisco, c) Amir kembali lagi bertemu dengan Rahim Khan di Pakistan pasca perang. Bagian pertama, seperti yang dituturkan secara gaya menulis, alurnya menjadi terkesan lambat dengan bagian introduksi yang panjang lebar mengenai tanah Kabul. Begitu juga dengan bagian dua, namun, di bagian dua, sebagai sebuah fase transisi, Amir lebih menuturkan pemikirannya secara liberal dan cepat, seperti saat pertemuannya dengan Jendral dan calon istrinya, Soraya. Hingga di bagian ketiga, saya rasa, dari antara ketiganya, bagian ketigalah yang menjadi fase ‘buka-kartu’ dari seluruh rangkaian memoar Amir. Yang mana Amir harus memberanikan diri dan berargumen untuk memenangkan hak yang seharusnya dimiliki oleh seorang Afghani untuk bisa menjadi warga negara Amerika yang resmi.
Sebuah cerita yang seru, tentunya tidak terlepas dari peranan tokoh yang hebat. Sebagai penulis Khaled Hosseini lebih sering menggunakan teknik penokohan yang didramatisir, walau ada kalanya sesekali ia menjelaskan tentang fisik seseorang, namun dengan kepiawaiannya bercerita tentang hal-hal spasial, pembaca pun tak ayal bisa merangkum deskripsi dan komparasi yang ia hadirkan lewat suasana dan tempat sebagai latar belakang penokohan dari para tokohnya. Seperti halnya kala ia menjelaskan rumah Baba yang megah, dipenuhi ukiran, juga meja yang luas untuk jamuan pesta besar-besaran. Berbeda saat narator menjelaskan gubuk Amir dan Ali yang begitu sederhana dan terletak di belakang rumah.
Dan untuk karakter, Amir sebagai sang narator bukanlah tokoh yang hebat, menurut saya. Amir diceritakan seperti manusia pada umumnya. Seorang pengecut, egois, dan oleh karena itu ia memilih untuk melarikan diri dari kenyataan. Tapi, lewat dirinya, Khaled Hosseini seperti ingin mengangsurkan sebuah cermin, yang mengetuk berkali-kali benak manusia, pernahkah sebagai manusia saya mengalami hal yang dialami Amir? Dan seperti kata pepatah, sehebat-hebatnya tupai melompat, pasti akan jatuh juga. Nah, mungkin seperti itulah jalan cerita akan menasihati Amir maupun pembacanya.
Namun, sebaliknya, tokoh yang menurut saya tokoh yang luar biasa adalah Hassan. Di balik ketidaksempurnaannya dan kemelaratannya, Hassan punya jiwa yang setia, pemaaf, suka menolong, dan selalu menganggap Amir sebagai tuannya yang paling baik. Hassan mungkin akan menjadi penyebab mengapa novel ini dapat membuat pembaca menitikkan air mata.
Terakhir, untuk setting ada tiga tempat yang dipilih Khaled Hosseini: Kabul di tahun 1975, Amerika (San Francisco), dan Kabul, Pakistan, dan sekitarnya di tahun 2001. Ketiga latar tersebut punya nuansa Timur Tengah yang kental. Kendati berada di San Francisco, tetapi sebagai seorang Afghani, Amir menceritakan kisahnya di tengah komunitas dengan suku yang sejenis. Dan untuk Kabul yang lama dan Kabul pasca-perang, keduanya diceritakan penulis dengan amat gamblang, sehingga pembaca bisa mengetahui sendiri, seberapa mengerikannya perang di Timur Tengah sana.
Sebagai bacaan yang nyaris terlewat, rasanya amat sedikit menyesal karena baru membaca “The Kite Runner” di masa sekarang. “The Kite Runner” bukan saja ingin berbicara soal persahabatan, di tengah kisah penuh penyesalan seorang Amir, Khaled Hosseini seolah ingin berpesan, jika manusia tentunya tidak ada yang sempurna, seperti seorang Baba yang memiliki rahasia yang tak pernah bisa diceritakannya.
Resume by Muhammad Abdul Aziz








Tentang Kamu
            Penulis Tere Liye           

Kisah yang ditulis dalam novel Tentang Kamu ini memang sangat luar biasa. Alurnya jelas dan bagus. Penuh dengan adegan yang menegangkan dan kejutan-kejutan,  Kisah ini bermula dari Zaman Zulkarnaen, seorang mahasiswa Universitas Oxford yang menjadi junior associate pada sebuah firma hukum ternama di pusat Kota London. Setelah dua tahun bekerja di sana, ia sama sekali tak menyangka akan mendapatkan kasus penyelesaian pembagian warisan yang besarnya dapat menyaingi kekayaan Ratu Inggris. Bila dapat menyelesaikan kasus ini, partner firmanya menjanjikan kursi lawyer untuk Zaman. Tawaran yang sangat menarik. Tapi untuk dapat menyelesaikannya, ia harus menghadapi kejutan yang melingkupi sang pemilik warisan. Kejutan pertama, dengan kekayaan yang mencapai satu miliar pounsterling atau setara dengan 19 triliun rupiah, sang almarhum yang merupakan warga negara Inggris menghabiskan sisa hidupnya dengan tinggal di panti jompo Kota Paris. Kejutan kedua, sang almarhum bernama Sri Ningsih, adalah seorang perempuan Jawa tulen dari Indonesia, sama dengan Zaman.  Namun,
Ningsih meninggal, bisa dikatakan bahwa wanita ini telah memenangkan pertarungan, tapi ternyata dengan data yang minim mengenai kehidupan Sri Ningsih, Zaman tak memiliki pilihan selain menelusuri jejak wanita itu dari awal kehidupannya. Mulai dari diary Sri Ningsih yang diserahkan petugas panti jompo. Titik awal dari investigasi Zaman adalah Pulau Bungin, Sumbawa, dalam novel ini, Tere mengisahkan, bahwa sangat sulit bagi Zaman untuk mencari orang yang masih hidup dan mengingat kejadian yang berlangsung pada 1940-an, tahun kelahiran Sri Ningsih. Zaman hampir menyerah. Tapi beruntung ada seorang nelayan tua yang baru saja pulang melaut beberapa minggu, hadir dan menceritakan kehidupan Sri Ningsih. 
Dari satu informan ke informan lainnya, dari satu kota ke kota lainnya, Zaman menelusuri kehidupan Sri Ningsih. Sumbawa, Surakarta, Jakarta, London, Paris, dan seluruh dunia tempat Sri Ningsih menghabiskan waktu-waktu terakhirnya. Dengan informasi mengenai ahli waris yang muncul untuk kemudian menghilang lagi, Zaman mempelajari banyak hal tentang klien yang hartanya warisannya luar biasa besar ini. Hingga akhir hayatnya, Sri tetap dihantui masa lalu menyakitkan yang terus mencoba menorehkan luka di hatinya. Saat Sri masih ada hal yang terus menghantui Sri Ningsih.
Pelajaran terpenting yang dapat dipetik adalah: dari 1000 kegagalan, bangkitlah 1001 kali.  Itu maknanya kita harus benar-benar sabar. Kesabaran yang dimaksud itu tanpa batas. Sabar yang benar-benar sabar. Seperti saat Sri Ningsih diperlakukan kasar oleh ibu tirinya sampai bertahun-tahun namun ia tetap berbakti bahkan berusaha menyelamatkan saat sang ibu terjebak kobaran api. Atau saat ia dikhianati salah seorang sahabatnya, bahkan saat usaha yang ia rintis berkali-kali gulung tikar, pun saat janin dalam kandungannya 2x meninggal disusul kemudian oleh suaminya. Namun ia tetap berdiri tegar. Begitulah sabar, tanpa tepi dan tanpa dendam. Istilah kata, tidak dimasukkan dalam hati. Subhanallah. Andainya kita semua bisa memiliki hati sebersih Sri Ningsih.


Resume by Muhammad Abdul Aziz
















Penulis Karen Amstrong

Pada mulanya, manusia menciptakan satu Tuhana yang merupakan Penyebab Pertama bagi sesuatu dan Penguasa langit dan bumi. Buku ini menjelaskan bagaimana kepercayaan orang-orang terdahulu kepada Tuhan dengan berbagai macam sebutannya. Buku ini juga menelisik beberapa agama monoteistik yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam.
Bahkan tentang bagaimana seorang budha sebelum hadir sebagai pencerah, yang pada asalnya adalah seorang manusia biasa, kemudian mengalami berbagai penderitaan ketika mengikuti salahsatu ajaran pada saat itu. Lalu beliau memutuskan meninggalkan keluarga dan masyarakat untuk mencari kebenaran dengan berjalan ke arah timur. Sehingga ketika beliau sudah sampai di suatu tempat pertapaan, beliau merasakan akan adanya pencerahan.
Buku ini memang banyak menguak dan menelisik sejarah agama pada masa lalu, tetapi perlu diperhatikan saat mengetahui hal baru untuk tidak mengambil kebenaran hal tersebut, karena beberapa ada yang menjelaskan kurang lengkap dan keliru. Seperti saat Ibrahim melakukan pengorbanan untuk Tuhan yaitu dengan menyembelih Ishak, dalam hal ini Ishak seharusnya adalah Ismail seperti yang dijelaskan pada kitab suci umat Islam. Buku ini disajikan dengan bahasa yang cukup tinggi, sehingga perlu pemahaman dalam membacanya.
Pada bab pertama ini, menjelaskan bahwa monoteisme atau kepercayaan akan adanya satu Tuhan adalah konsep pertama manusia tentang Tuhan. Namun, konsep “satu” Tuhan disini memiliki banyak versi sesuai dengan wilayah yang ada. Diantaranya adalah konsep “Tuhan Tertinggi” atau “Dewa Langit” yang membawahi Tuhan-tuhan lainnya. Misal yang lain adalah Yahweh, Tuhan bangsa Yahudi. Deskripsi tentang Yahweh beserta proses terbentuknya kepercayaan Yahudi dikemukakan dengan sangat jelas pada bab kedua dimulai dari kejadian penampakan sosok “Tuhan” oleh Yesaya di singgasana sebuah kuil hingga keadaan bangsa Yahudi bertahun-tahun setelahnya.
Yahweh sendiri dalam agama Yahudi sangat diistimewakan. Tak perlu lagi ada kontak langsung dengan Tuhan, hal itu hanya dicapai melalui visi simbolik yang dinisbahkan kepada figur-figur besar di masa silam.


Resume by Muhammad Abdul Aziz