“The Kite Runner” Novel Terlaris Berlatar Negara Afghanistan
Penulis Khaled Hosseini
Secara keseluruhan, ada sebuah
kultur Islami yang kental pada novel “The Kite Runner”, namun kultur-kultur
tersebut tak ayal menyelipkan moral dan pesan berharga yang tidak hanya
ditujukan kepada pemeluk agama tersebut. Lewat keseharian Amir dan kaum Afghani
lainnya di San Franciso, Khaled Hosseini berbicara tentang bagaimana cara
kaumnya bertahan di tengah perbedaan kultur yang terjadi, antara sebelum dan
pasca terjadinya insiden 11/9.
Sebagai debut Khaled Hosseini, “The
Kite Runner” merupakan karya perdana yang luar biasa. Bukan semata-mata dari
konflik novelnya yang berkenaan dengan isu politikal dunia, melainkan
pengemasan ceritanya yang juga menarik. Cerita memoar perjalanan Amir tidak dieksekusi
secara monoton, melainkan dieksplorasi melalui berbagai sisi. Semasa ia kecil,
Amir menjelaskan sisi yang indah tentang Kabul dengan didominasi narasi
spasial. Mulai dari ceruk terkecil di rumahnya, sampai panjang-lebar meja, dan
besar ukuran ruangan rumah, Khaled Hosseini menjabarkannya secara lengkap;
adat, permainan, hingga tradisi-tradisi lainnya di tanah Afghani pun ia
perkenalkan kepada pembaca. Namun, di bagian inilah, cerita menjadi terasa
mengulur, dan alih-alih, diselingi dengan dialog, Amir sebagai seseorang yang
senang menghabiskan waktu bersama buku, lebih ingin bermonolog tentang kampung
halamannya ketimbang berdialog panjang lebar dengan Hassan.
“The Kite Runner” bisa dibilang buku yang sendu,
Khaled Hosseini menggunakan kata-katanya untuk menghanyutkan pembaca bersama
sebuah diorama kehidupan Amir yang selalu dipenuhi penyesalan. Dengan
terpolanya pemikiran tersebut, pembaca pun tak pernah berekspektasi tentang
sebuah klimaks yang akan menghadang.
Khaled Hosseini sesungguhnya tak perlu terlalu sulit
merangkai emosi untuk sebuah klimaks yang epik. Penuturan kisahnya bahkan tanpa
bumbu metafora, namun sudah cukup menceritakan penyiksaan yang dibawa kaum
Taliban ke tanah Afghani.
Menjelajahi perjalanan hidup Amir, “The Kite Runner”
dibagi menjadi tiga bagian utama: a) bagian pertama, yang bercerita tentang
masa kecil Amir dan Hassan di Kabul, b) bagian kedua, yang bercerita
tentang kehidupan Amir dan Baba di San Francisco, c) Amir kembali lagi bertemu
dengan Rahim Khan di Pakistan pasca perang. Bagian pertama, seperti yang
dituturkan secara gaya menulis, alurnya menjadi terkesan lambat dengan bagian
introduksi yang panjang lebar mengenai tanah Kabul. Begitu juga dengan bagian
dua, namun, di bagian dua, sebagai sebuah fase transisi, Amir lebih menuturkan
pemikirannya secara liberal dan cepat, seperti saat pertemuannya dengan Jendral
dan calon istrinya, Soraya. Hingga di bagian ketiga, saya rasa, dari antara
ketiganya, bagian ketigalah yang menjadi fase ‘buka-kartu’ dari seluruh
rangkaian memoar Amir. Yang mana Amir harus memberanikan diri dan berargumen
untuk memenangkan hak yang seharusnya dimiliki oleh seorang Afghani untuk bisa
menjadi warga negara Amerika yang resmi.
Sebuah cerita yang seru, tentunya tidak terlepas dari
peranan tokoh yang hebat. Sebagai penulis Khaled Hosseini lebih sering
menggunakan teknik penokohan yang didramatisir, walau ada kalanya sesekali ia
menjelaskan tentang fisik seseorang, namun dengan kepiawaiannya bercerita
tentang hal-hal spasial, pembaca pun tak ayal bisa merangkum deskripsi dan
komparasi yang ia hadirkan lewat suasana dan tempat sebagai latar belakang
penokohan dari para tokohnya. Seperti halnya kala ia menjelaskan rumah Baba
yang megah, dipenuhi ukiran, juga meja yang luas untuk jamuan pesta besar-besaran.
Berbeda saat narator menjelaskan gubuk Amir dan Ali yang begitu sederhana dan
terletak di belakang rumah.
Dan untuk karakter, Amir sebagai sang narator bukanlah
tokoh yang hebat, menurut saya. Amir diceritakan seperti manusia pada umumnya.
Seorang pengecut, egois, dan oleh karena itu ia memilih untuk melarikan diri
dari kenyataan. Tapi, lewat dirinya, Khaled Hosseini seperti ingin
mengangsurkan sebuah cermin, yang mengetuk berkali-kali benak manusia,
pernahkah sebagai manusia saya mengalami hal yang dialami Amir? Dan seperti
kata pepatah, sehebat-hebatnya tupai melompat, pasti akan jatuh juga. Nah,
mungkin seperti itulah jalan cerita akan menasihati Amir maupun pembacanya.
Namun, sebaliknya, tokoh yang menurut saya tokoh yang
luar biasa adalah Hassan. Di balik ketidaksempurnaannya dan kemelaratannya,
Hassan punya jiwa yang setia, pemaaf, suka menolong, dan selalu menganggap Amir
sebagai tuannya yang paling baik. Hassan mungkin akan menjadi penyebab mengapa
novel ini dapat membuat pembaca menitikkan air mata.
Terakhir, untuk setting ada tiga tempat yang dipilih Khaled
Hosseini: Kabul di tahun 1975, Amerika (San Francisco), dan Kabul, Pakistan,
dan sekitarnya di tahun 2001. Ketiga latar tersebut punya nuansa Timur Tengah
yang kental. Kendati berada di San Francisco, tetapi sebagai seorang Afghani,
Amir menceritakan kisahnya di tengah komunitas dengan suku yang sejenis. Dan
untuk Kabul yang lama dan Kabul pasca-perang, keduanya diceritakan penulis
dengan amat gamblang, sehingga pembaca bisa mengetahui sendiri, seberapa
mengerikannya perang di Timur Tengah sana.
Sebagai bacaan yang nyaris terlewat, rasanya amat
sedikit menyesal karena baru membaca “The Kite Runner” di masa sekarang. “The
Kite Runner” bukan saja ingin berbicara soal persahabatan, di tengah kisah penuh
penyesalan seorang Amir, Khaled Hosseini seolah ingin berpesan, jika manusia
tentunya tidak ada yang sempurna, seperti seorang Baba yang memiliki rahasia
yang tak pernah bisa diceritakannya.
Resume by Muhammad Abdul Aziz